Beberapa faktor Yang mempengaruhi Kejadian Malaria

1.         Faktor Manusia ( Host)
a.    Karakteristik manusia
1)                 Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Beberapa studi menunjukkan  bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering  mendapat kejang dan malaria serebral dibanding dengan anak yang bergizi buruk. Akan tetapi anak yang bergizi baik  dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk (Gunawan,2000).
2)        Jenis Kelamin
Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang berat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria.
3)        Imunitas
           Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya terbentuk imunitas dalam tubuhnya, demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya mempunyai imunitas alami terhadap malaria.
4)        Ras
       Beberapa ras di Afrika  mempunyai kekebalan terhadap malaria, misalnya sickle cell anemia dan ovalositas. Plasmodium falciparum dapat gagal matang pada anak dengan dengan sel sabit serta tidak mampu mencapai densitas tinggi pada anak dengan defisiensi glukose-6-fosfat dehidrogenase (Nelson,2000).
5)        Status gizi
Masyarakat dengan gizi kurang baik dan tinggal di daerah endemis malaria lebih rentan terhadap infeksi malaria. Hubungan antara penyakit malaria dan kejadian Kurang Energi Protein (KEP) merupakan masalah yang hingga saat ini masih kontrovesial. Ada kelompok peneliti yang berpendapat bahwa penyakit malaria menyebabkan kejadian KEP, tetapi sebagian peneliti berpendapat bahwa keadaan KEP yang menyebabkan anak mudah terserang penyakit malaria. Rice et al. mengatakan terdapat hubungan yang kuat antara malnutrisi dalam hal meningkatkan risiko kematian pada penyakit infeksi termasuk malaria pada anak-anak di negara berkembang. Penelitian Shankar yang menguji hubungan antara malaria dan status gizi menunjukkan bahwa malnutrisi protein dan energi mempunyai hubungan dengan morbiditas dan mortalitas pada berbagai malaria (Wanti,2008). Penelitian yang dilakukan oleh Suwadera menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang berisiko menderita malaria 1,86 kali dibandingkan dengan yang berstatus gizi baik.
b.     Perilaku manusia
Manusia dalam keseharian mempuyai aktifitas yang beresiko untuk terkena panyakit malaria, diantaranya :
1)        Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk.  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwito (2005) menunjukkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko menderita malaria 4 kali lebih besar di banding dengan yang tidak mempunyai kebiasaan keluar pada malam hari.
2)        Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas  malaria dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Babba (2009) diperoleh bahwa orang yang tidur malam tidak menggunakan kelambu, mempunyai risiko terjangkit malaria sebesar 2,28 kali lebih besar dibandingkan yang menggunakan kelambu. 
3)        Memasang kawat kasa pada rumah dapat mengurangi masuknya nyamuk ke dalam rumah untuk menggigit manusia. Hasil penelitian Suwadera (2003) bahwa ada hubungan ventilasi yang di lengkapi kasa dengan kejadian malaria pada balita. Balita yang tinggal dalam rumah tidak di lengkapi dengan kawat kasa akan berisiko terkena malaria sebesar 3,41 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi memakai kawat kasa.
4)        Menggunakan obat nyamuk maupun repelen dapat menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, baik hanya bersifat menolak ataupun membunuh nyamuk. Mereka yang mempunyai kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk mempunyai risiko terkena malaria sebesar 10,8 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menggunakan obat anti nyamuk (Suwito,2005).
Selain perilaku-perilaku tersebut, berbagai kegiatan manusia seperti pembendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria. Selain hal tersebut diatas, terdapat juga beberapa karakteristik dari manusia yang dapat menyebabkan terjadinya malaria seperti pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan pendapatan.
Pendidikan yang semakin tinggi diharapkan berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan, terutama untuk pencegahan malaria. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yahya, dkk (2005) makin tinggi tingkat pendidikan ibu cenderung makin tinggi tingkat pengetahuannya tentang malaria pada anak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Babba (2008) bahwa ada hubungan antara pendidikan yang rendah dengan kejadian malaria dengan risiko terkena malaria sebesar 2,23 kali dibanding dengan orang yang berpendidikan tinggi.
Pekerjaan yang dilakukan seseorang mempunyai peranan dalam kejadian malaria. Hasil penelitian oleh Balai Penelitian Vektor dan Reservoar Penyakit  (BPVRP) juga menunjukkan hasil bahwa pekerjaaan yang berkaitan dengan pertanian mempunyai risiko untuk menderita malaria sebesar 4,1 kali lebih besar daripada yang bekerja selain dibidang pertanian.
Pendapatan berkaitan dengan kemampuan responden untuk mengupayakan pencegahan atau meminimalkan kontak dengan nyamuk misalnya dengan penggunaan kawat kasa atau membeli obat anti nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Babba (2008) menunjukkan bahwa orang yang mempunyai penghasilan yang kurang mempunyai risiko sebesar 4, 32 kali untuk menderita malaria.
2.         Nyamuk
Nyamuk anopheles terutama hidup didaerah tropik dan sub tropik, namun dapat juga hidup di daerah beriklim sedang bahkan dapat hidup di daerah Arktika. Jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 2000-2500 m.  Efektifitas vektor untuk menularkan dipengaruhi hal-hal berikut :
a.                       Kepadatan vektor dekat pemukiman manusia
b.                       Kesukaan menghisap darah manusia
c.                       Frekuensi menghisap darah (tergantung pada suhu)
d.        Lamanya sporogoni (berkembangnya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi infektif)
e.         Lamanya hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan kemudian menginfeksi (Gunawan,2000).
Selain itu, perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Beberapa yang penting meliputi :
a.         Tempat istirahat di dalam rumah atau luar rumah (endofilik dan eksofilik)
b.         Tempat menggigit di dalam rumah atau luar rumah (endofagik dan eksofagik)
c.         Obyek yang di gigit, suka menggigit manusia atau hewan  (antrofofilik dan zoofilik).
3.         Faktor Lingkungan
a.    Lingkungan Fisik
1)                      Suhu Udara
              Suhu udara berpengaruh terhadap lamanya masa inkubasi ekstrinsik (panjang pendeknya siklus sprorogoni). Hal ini berperan dalam transmisi malaria.  Semakin tinggi suhu  antara 20-30 ᵒC  akan berakibat pada makin pendeknya masa inkubasi ekstrinsik, begitu juga sebaliknya. Pengaruh suhu terhadap masing-masing spesies tidak sama. Pada suhu 26,7 ᵒC masa inkubasi ekstrinsik pada spesies plasmodium berbeda yaitu : plasmodium falciparum (10-12 hari),  P. Vivax (8-11hari),  P. Malariae (14 hari) dan P. Ovale ( 15 hari)  ( Subbarao, 1998)
2)        Kelembaban udara
       Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, dengan tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit.
3)        Ketinggian
       Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian diatas 2000 m jarang ada transmisi malaria, namun ini bisa berubah dengan adanya pemanasan bumi dan pengaruh dari El-Nino. Ini menyebabkan terjadinya perubahan pola musim di Indonesia yang berpengaruh terhadap perilaku nyamuk.
4)        Angin
Kecepatan dan arah angin berpengaruh terhadap kemampuan jarak terbang (flight range) nyamuk. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam berpengaruh terhadap nyamuk yang keluar masuk rumah. Jarak terbang nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang sebagai akibat pengaruh adanya kecepatan angin.
5)        Hujan
       Siklus hidup dan perkembangan nyamuk dapat dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan. Hujan yang di selingi panas akan memperbesar kemungkinan perkembang biakan nyamuk  anopheles berlangsung sempurna.  Tetapi tidak semua spesies mempunyai kecenderungan yang sama.
6)        Sinar matahari
       Sinar matahari memberikan pengaruh berbeda pada spesies nyamuk. Nyamuk An. Aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam badan air yang ada sinar mataharinya dan ada peneduh. Spesies yang lain lebih menyukai tempat yang rindang. Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles sundaicus lebih suka di tempat yang teduh, Anopheles hyrcarnus spp. Lebih suka di tempat yang terbuka sedangkan Anopheles balabacensis dapat hidup beradaptasi baik di tempat yang teduh maupun yang terang. Jentik An.maculatus di Kabupaten Banjarnegara (Yunianto,dkk.,2002) banyak ditemukan di antara batuan atau di bawah tanaman air yang terlindung dari sinar matahari langsung.
7)                      Arus air
An. Balabacensis lebih menyukai tempat perindukan yang airnya tergenang atau mengalir sedikit, An. minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya cukup deras dan An. letifer menyukai tempat yang airnya tergenang. Menurut laporan penelitian (Yunianto,2002) menyatakan bahwa An. maculatus berkembangbiak pada genangan  air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti.
Selain hal tersebut diatas, beberapa lingkungan fisik yang terdapat disekitar manusia dan dalam kondisi yang sesuai dapat meningkatkan resiko kontak dengan nyamuk infeksius, diantaranya seperti keberadaan tempat perindukan nyamuk, tempat pemeliharaan ternak besar serta konstruksi dinding rumah. Depkes RI (1999), adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang tersebut diletakan di luar rumah pada jarak tertentu (cattle barrier).  Demikian juga lokasi rumah dekat tempat perindukan vektor serta desain, konstruksi rumah dapat mengurangi kontak antara manusia dengan vektor. Rumah dengan dinding yang terbuka karena konstruksi yang tidak lengkap ataupun karena bahan baku yang membuatnya bercelah, meningkatkan resiko kontak dengan nyamuk (Suwadera,2003).
b.    Lingkungan kimia
Dari lingkungan ini yang baru di ketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perindukan. Sebagai contoh An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18 % dan tidak dapat berkembang biak pada kadar garam 40% keatas. Meskipun di beberapa tempat di sumatra Utara An. sundaicus ditemukan pula dalam air tawar dan An. letifer dapat hidup di tempat yang asam/ PH rendah.
c.    Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi berpengaruh terhadap kehidupan nyamuk, baik bersifat menguntungkan maupun merugikan. Keberadaan tanaman air seperti tanaman bakau, ganggang, lumut dapat melindungi larva nyamuk dari sinar matahari langsung maupun serangan makhluk lainnya.  Demikian juga keberadaan binatang pemakan jentik seperti ikan nila, mujair, gambusia dan ikan kepala timah. 
4.                Faktor parasit
            Parasit harus ada dalam tubuh manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Parasit juga harus menyesuaikan diri dengan sifat spesies vektor anopheles agar sporogoni di mungkinkan dan menghasilkan sporozoit yang infektif.

Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies dan mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan penularan. Plasmodium falciparum mempunyai masa infeksi yang paling pendek namun menghasilkan parasitemia paling tinggi, gejala yang paling berat dan masa inkubasi yang paling pendek.  P. falciparum baru berkembang setelah 8-15 hari sesudah masuknya parasit ke dalam darah. Gametosit P.falciparum menunjukkan periodisitas dan infektivitas yang berkaitan dengan kegiatan menggigit vektor. P. vivax dan P. ovale pada umumnya menghasilkan parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan masa inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan ovale dalam hati berkembang menjadi sizon jaringan primer dan hipnozoit. Hipnosoit ini yang menjadi sumber untuk terjadinya relaps (Gunawan, 2000)


Sebagian besar kematian karena malaria disebabkan oleh malaria berat karena infeksi plasmodium falciparum. Penelitian in vitro Chotivanich, dkk menunjukkan parasit pasien malaria berat mempunyai kemampuan multiplikasi 3 kali lebih besar dibandingkan parasit yang didapat dari pasien malaria tanpa komplikasi.  Selain itu parasit malaria berat juga mampu menghasilkan toksin yang sangat banyak (Nugroho, 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger